Skip to main content

Kumpulan Puisi Pilihan Karya Sanusi Pane yang Terbaik

Kumpulan Puisi Pilihan Karya Sanusi Pane yang Terbaik

Kumpulan puisi pilihan karya Sanusi Pane yang terbaik. Setelah beberapa karya sastrawan legendaris Indonesia angkatan Pujangga Baru yang diterbitkan blog puisi dan kata bijak seperti puisi karya chairil anwar, Cak Nun, Amir Hamzah dan lainnya.

Maka untuk kali ini 24 judul puisi karya Sanusi Pane, diterbitkan puisibijak.com untuk menambah koleksi puisi dari Sastrwan Indonesia yang karya-karyanya masih dikenang, dan masih sering dijadikan referensi untuk menulis puisi sampai saat ini.

Sebagaimana diketahui Sanusi Pane adalah seorang guru dan seniman Batak yang berasal dari sumatra utara Mandailing Natal, Muara Sipongi.

Pada masanya Sanusi Pane dikenal cukup produktif dalam menghasilkan karya kesusastraan, karya-karyanya banyak diterbitkan antara 1920-an sampai dengan 1940-an berdasarkan wikipedia diantara: Pancaran Cinta (1926), Prosa Berirama (1926), Puspa Mega (1927) Kumpulan Sajak (1927) Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928), Eenzame Garoedavlucht (drama berbahasa Belanda, 1929), Madah Kelana (1931) Kertajaya (drama, 1932) Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933) Manusia Baru (drama, 1940) Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuno, 1940)


Kumpulan Puisi Pilihan Karya Sanusi Pane

Selain Sanusi Pane di antara delapan bersaudara, yang juga menjadi tokoh nasional, yaitu Armijn Pane yang juga menjadi sastrawan, dan Lafran Pane yang merupakan pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam.

Nah bila anda menyukai puisi dari angkatan Pujangga Baru dan sedang mencari puisi puisi lagendaris sastrawan Indonesia, beberapa contoh puisi pujangga baru karya Sanusi Pane dari buku Madah Kelana dan lainnya di terbitkan blog puisi dan kata bijak.

Dan berikut ini adalah deretan puisi sajak Sanusi Pane dalam tema kumpulan puisi pilihan karya Sanusi Pane, Silahkan disimak saja agar mengerti puisi karya sanusi pane dan maknanya dibawah ini. Puisi Pilihan Karya Sanusi Pane

01. Puisi Tanah Bahagia Karya Sanusi Pane

Tanah Bahagia

Bawa daku ke negara sana, tempat bah’gia
Ke tanah yang subur, dipanasi kasih cinta.
Dilangiti biru yang suci, harapan cita,
Dikelilingi pegunungan damai mulia.

Bawa daku ke benua termenung berangan,
Ke tanah tasik kesucian memerak silau,
Tersilang sungai kekuatan kilau kemilau,
Dibujuk angin membisikkan kenang-kenangan.

Ingin jiwa pergi ke sana tidak terkata:
Hatiku dibelah sengsara setiap hati,
Keluh kesah tidak berhenti sebentar jua.

O, tanah bah’gia, bersinar emas permata,
Dalam dukacita engkau mematahari.
Pabila gerang tiba waktu bersua?


02. Puisi Sanusi Pane Dibawa Gelombang

Dibawa Gelombang

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah kemana aku ta’tahu

Jauh di atas bintang kemilau,
Seperti sudah berabad-abad;
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi, yang kecil amat.

Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin didaun;
Suaraku hilang dalam udara,
Dalam laut yang beralun-alun,

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah kemana aku ta’tahu


03. Puisi Pagi Karya Sanusi Pane

PAGI

Pagi telah tiba, sinar matari
Memancar dari belakang gunung,
Menerangi bumi, yang tadi dirundung
Malam, yang sekarang sudahlah lari.
Alam bersuka ria, gelak tersenyum,
Berseri-seri, dipeluk si raja siang.
Duka nestapa sudah diganti riang,
Sebab Sinar Bahagia datang mencium.
Mari, O Jiwa, yang meratap selalu
Dalam rumahmu, turutlah daku.
Apa guna menangisi waktu yang silam?
Mari, bersuka ria, bercengkerema
Dengan alam, dengan sinar bersama-sama,
Di bawah langit yang seperti nilam.


04. Puisi Awan Karya Sanusi Pane

Awan

Awan datang melayang perlahan,
Serasa bermimpi, serasa berangan,
Bertambah lama, lupa di diri,
Bertambah halus, akhirnya seri,
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit biru-gemilang.
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teduh tenang.


05. Puisi Sanusi Pane Teratai

Teratai
Kepada Ki Adjar Dewantara

Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai:
Tersembunyi kembang indah permai,
Tidak terlihat orang yang lalu.

Akarnya tumbuh di hati dunia,
Daun berseri Laksmi mengarang:
Biarpun ia diabaikan orang,
Seroja kembang gemilang mulia.

Teruslah, o Teratai Bahagia,
Berseri di kebun Indonesia,
Biar sedikit penjaga taman.

Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat,
Engkaupun turut menjaga Zaman.


06. Puisi Berjudul Sajak Karya Sanusi Pane

Sajak

O, bukannya dalam kata yang rancak,
Kata yang pelik kebagusan sajak.
O, pujangga, buang segala kata,
Yang ‘kan cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca selintas lalu,
Karena tak keluar dari sukmamu.

Seperti matari mencintai bumi,
Memberi sinar selama-lamanya,
Tidak meminta sesuatu kembali,
Harus cintamu senantiasa.


07. Puisi Sanusi Pane: Betapa Kami Tidakkan Suka

Betapa Kami Tidakkan Suka

Betapa sari
Tidakkan kembang,
Melihat terang
Simata hari.

Betapa kami
Tidakkan suka,
Memandang muka
Sijantung hati.


08. Puisi Sanusi Pane Kesadaran

KESADARAN

Pada kepalaku sudah direka,
Mahkota bunga kekal belaka,
Aku sudah jadi merdeka,
Sudah mendapat bahagia baka.
Aku melayang kelangit bintang,
Dengan mata yang bercaya-caya,

Punah sudah apa melintang,
Apa yang dulu mengikat saya.
Mari kekasih, jangan ragu
Mencari jalan; aku mendahului,

Adinda kini
Mari, kekasih, turut daku
Terbang kesana, dengan melalui,
Hati sendiri


09. Puisi Karya Sanusi Pane Arjuna

Arjuna
Kepada R. P. Mr. Singgih

Aku merasa tenaga baru
Memenuhi jiwa dan tubuhku;
Hatiku rindu ke padang Kuru,
Tempat berjuang, perang selalu.

Aku merasa bagai Pamadi,
Setelah mendengar sabda Guru,
Nerendra Krisjna, di ksetra Kuru:
Bernyala ke dewan dalam hati.

Tidak ada yang dapat melingtang
Pada jalan menuju maksudku:
Menang berjuang bagi Ratuku

Mahkota nanti di balik bintang
Laksmi letakkan d’atas kepalam
Sedang bernyanyi segala dewa.


10. Puisi Sanusi Pane: Kepada Krisjna

Kepada Krisjna

Aku berdiri sebatang kara,
Tidak berteman, tidak berkawan.
Tangan tertadah k’atas udara.
Jiwa menjerit disayat rawan.

Hatiku kosong, tanganku hampa,
Tidak ada yang sudah tercapai:
Aku bermimpi di dalam tapa.
Mengingat untung termenung lalai.

O, Krisjna tiadakanlah kembali
Titah yang dulu menyuruh daku
Meniup suling di tanah airku.

Biarkan daku sekali lagi.
Jatuh ke dalam jurang gulita,
Supaya lupa, tidak bercita.


11. Puisi karya sanusi pane: Taj Mahal

Taj Mahal
Kepada “Anjasmara”

Dalam Taj Mahal, ratu astana,
Putih dan permai: pantun pualam
Termenung diam di tepi Jamna
Di atas makam Ardjumand Begam,

Yang beradu di sisi Syah Jahan,
Pengasih, bernyanyi megah mulia
Dalam malam tiada berpadan,
Menerangkan cinta akan dunia,

Di sana, dalam duka nestapa,
Aku merasa seorang peminta
Di depan gapura kasih cinta,

Jiwa menjerit, di cakra duka
Ah, Kekasihku, memanggil tuan.
Hanya Jamna membalas seruan.


12. Puisi Candi Karya Sanusi Pane

CANDI MENDUT

Di dalam ruang yang kelam terang
Berhala Budha di atas takhta,
Wajahnya damai dan tenung tenang,
Di kiri dan kanan Bodhisatwa.

Waktu berhenti di tempat ini
Tidak berombak, diam semata;
Azas berlawan bersatu diri,
Alam sunyi, kehidupan rata.

Diam hatiku, jangan bercita,
Jangan kau lagi mengandung rasa,
Mengharap bahagia dunia Maya
Terbang termenung, ayuhai, jiwa,
Menuju kebiruan angkasa,
Kedamaian Petala Nirwana.


13. Puisi Sanusi Pane: Candra

CANDRA

Badan yang kuning-muda sebagai kencana,
Berdiri lurus di atas reta bercaya,
Dewa Candra keluar dari istananya
Termenung menuju Barat jauh di sana.
Panji berkibar di tangan kanan, tangan kiri
Memimpin kuda yang bernapaskan nyala;
Begitu dewa melalui cakrawala,
Menabur-naburkan perak ke bawah sini.
Bisikan malam bertiup seluruh bumi,
Sebagai lagu-merawan buluh perindu,
Gemetar-beralun rasa meninggikan sunyi.
Bumi bermimpi dan ia mengeluh di dalam
Mimpinya, karena ingin bertambah rindu,
Karena rindu dipeluk sang Ratu Malam


14. Puisi Majapahit Karya Sanusi Pane

MAJAPAHIT

Aku memandang tersenyum arah ke bawah:
Bandung mewajah di dalam kabut.
Jauh di sana bermimpi Gede-Pangrango,
Seperti pulau dalam lautan awan.
Langit kelabu,
Alam muram.
Dan ke dalam hatiku,
Masuk perlahan
Rindu dendam.
Jiwaku meratap bersama jiwa
Gembala yang bernyanyi dalam lembah.
Ratap melayang bersama suara
Kedalam kemuraman
Kehilangan.


15. Puisi Melati Karya Sanusi Pane

MELATI

Kau datang dengan menari, tersenyum simpul,
Seperti dewi, putih-kuning, ramping-halus,
Menunjukkan diri, seperti bunga yang bagus.
Dalam sinar matahari, membuat timbul
Di dalam hati berahi yang suci-permai.
Jiwa termenung, terlena dalam samadi,
O Melati, memandang kau seperti Pamadi,
Kebakaan kurasa, luas, tenang dan damai
Engkau tinggal sebagai bunga dalam taman
Kenang-kenangan: dipetik tidak ‘kan dapat,
Biar warna dan wangi engkau berikan.
Engkau seperti bintang di balik awan,
Terkadang-kadang sejurus berkilat-kilat
Tapi jauh, ta’ ‘kan pernah tercapai tangan


16. Puisi Kembang Melati Karya Sanusi Pane

KEMBANG MELATI

Aku menyusun kembang melati
Di bawah bintang tengah malam,
Buat menunjukkan betapa dalam
Cinta kasih memasuki hati.
Aku tidur menantikan pagi
Dan mimpi dalam bah’gia
Duduk bersanding dengan Dia
Di atas pelaminan dari pelangi
Aku bangun, tetapi mentari
Sudah tinggi di cakrawala
Dan pujaan sudah selesai
O Jiwa, yang menanti hari,
Sudah Hari datang bernyala,
Engkau bermimpi, termenung lalai.


17. Puisi Sanusi Pane Wijaya Kesuma

WIJAYA KESUMA

Di balik gunung, jauh di sana,
Terletak taman dewata raya,
Tempat tumbuh kesuma wijaya,
Bunga yang indah, penawar fana.
Hanya sedikit yang tahu jalan
Dari negeri sampai ke sana.
Lebih sedikit lagi orangnya,
Yang dapat mencapai gerbang taman.
Turut suara seruling Krisyna,
Berbunyi merdu di dalam hutan,
Memanggil engkau dengan sih trisna.
Engkau dipanggil senantiasa
Mengikuti sidang orang pungutan:
Engkau menurut orang biasa.


18. Puisi Sanusi Pane berjudul Penyanyi

Penyanyi

Pujangga, kalau ajal sudahlah sampai,
Engkau menutup mata di dalam damai,
Sebab mengetahui terang rahasia alam,
Engkau, yang bermahkota susunan ilham.

O, Pujangga, kalau dunia gundah gulana,
Engkau bersila, jiwa tersenyum jua,
Sebab merasa kegemetaran nyawa dunia,
Engkau, Penyanyi lagu mulia.


19. Puisi Sanusi Pane berjudul Lautan Waktu

Lautan Waktu

Jiwaku talah lama merenang lautan waktu dan aku berhenti,
membiarkan diriku dipermainkan gelombang.
Aku bermimpi dibawa arus ke darat sejahtera di bawah langit
bertabur bintang.
Mata kubuka: awan mengandung guruh berkumpul di langit.
Badai turun dan setinggi gunung gelombang naik, mengem-
pas-empaskan daku seperti tempurung.
Tangan kukembangkan dan mulai lagi mengharung laut,
sebatang kara dalam ‘alam tidak berwatas.


20. Puisi Doa Karya Sanusi Pane

Doa

O, Kekasihku, turunkan cintamu memeluk daku.
Sudah bertahun aku menanti, sudah bertahun aku mencari.
O, Kekasihku, turunkan rahmatmu ke dalam taman hatiku.
Bunga kupelihara dalam musim berganti, bunga kupelihara dengan cinta berahi.
O, Kekasihku, buat jiwaku bersinar-sinar!
O, Keindahan, jiwaku rindu siang dan malam, hendak me-mandang cantik parasmu.
Datanglah tuan dari belakang pegunungan dalam ribaan pagi tersenyum.
O, beri daku tenaga, supaya aku bisa bersama tuan melayang
sebagai garuda menuju kebiruan langit nilakandi.


21. Puisi Kecapi Karya Sanusi Pane

Kecapi

O, Kekasih, dunia hiru-biru.
Kita duduk berdua saja, terasing dari yang lain.
Biarkan daku membunyikan kecapi dan berceritera dengan bernyanyi.
Siapa tahu ada orang yang berjuang yang rindu kepada
kedamaian dan keteduh-tenangan.
Ia mendengar beberapa lagu dan ia terkadang menyanyikan-nya dalam malam duka nestapa.
O, Adinda, barangkali ia teringat akan kekasihnya dan pan-tunku menghiburkan hatinya.


22. Puisi Bimbang Karya Sanoesi Pane

Bimbang

Aku duduk dalam kesunyian jiwaku dan mencoba membu-
nyikan lagu pada kecapi. Ah, tiada suara yang keluar dan
aku menundukkan kepala, termenung akan tanah air menge-
luarkan lagu yang tidak menyambung waktu silam.
Adinda datang dan berkata dengan suara penuh duka,

“Mengapa Tuan termenung saja, tidak membunyikan lagu
penghibur hati? Sudah lama cantingku berhenti, tidak sanggup
melukis tenunanku, karena engkau tidak kudengar membunyikan kecapi.”
Aku mengangkat kepada dan memandang dia dengan matamurung caya.

“Aduh, Adinda, hatiku lemah mendengar suara yang tidak
sepadan dengan kehijauan tanah airku.”


23. Puisi Sanusi Pane Mencari

Mencari
Aku mencari
Di kebun India,
Aku pesiar
Di kebun Junani,
Aku berjalan
Di tanah Roma,
Aku mengembara
Di benua Barat,

Segala buku
Perpustakaan dunia
Sudah kubaca,
Segala filsafat
Sudah kuperiksa.

Akhirnya ‘ku sampai
Ke dalam taman
Hati sendiri.

Di sana Bahagia
Sudah lama
Menanti daku.


24. Puisi Karya Sanoesi Pane: Syiwa-Nataraja

Syiwa-Nataraja
Kepada R. Soeratmaka

Pada perjalananku melalui Langka purbakala,
Mengunjungi tempat keramat, dengan harapan bernyala
Di dalam hati, di bumi India yang mulia,
Yang dari dulu sampai ke akhir zaman dalam dunia
Tinggal kuat dan sakti dan termasyhur, aku melihat
Di Sailan, tempat zaman telah silam berkilat-kilat.
Astana Rawana sebagai bulan purnama raya.
Dan di negara Godawari dan Krisjna, Nataraja,
Mahadewa sebagai Penari, Sungai Mahanadi,
Dengan meninggalkan India Selatan, kuseberangi,
Dan mataku termenung memandang Pataliputra,
Tanah daratan, tempat Ayodia dan Hastinapura.
Mediadesa, kulalui dan aku berdiri, terkenang,
Penuh rindu dendam akan waktu yang silam, dipandang
Kuruksetra. Aku berada di Sarnath Negara,
Tempat Buda pertama kali mengeluarkan sabda.
Di Agra dan Fatehpur Sikri, di tepi Jamna,
Aku mengherani gedung marmar yang indah tidak terkata.
Dalam taman dan astana Taj Mahal, Mutiara Timur,
Tempat Syah Jahan dan Mumtaz-i-Mahal bersanding berkubur,
Aku bermimpi mengenang cinta.

O, jiwa India
Kupandag gilang-gemilang, kurasa mahamulia.
Tetapi, yang kuingat seperti yang paling utama,
Ialah, ketika aku, setelah aku sejurus lama,
Memandang naiknya Surya Dewa ke cakrawala,
Dengan mulia raya, cerlang-cemerlang, bernyala-nyala.
Di tepi Gangga yang sakti, melutut dalam Samadi,
Dalam candi Kencana, yang berdiri di jantung hati
Tanah Hindustan.

Aku terkenang akan Nataraja,
Yang kuherani denga mata yang bercaya-cahaya
Di Ratnadwipa dan India Daksina: Syiwa menari
Dalam lingkungan api bernyala-nyala, yang tahadi
Belum pernah aku dapat, biarpun aku sudah
Memandang hampir segala yang indah, yang belum punah
Oleh zaman dan tangan yang ganas, saksi bercaya
Dari abad kemegahan, abad yang kaya raya.
Di Indonesia, tanah airku,

Natesa berdiri
Di atas buta, tangan kanan memegang gendang, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan
Keindahan.

Genta candi, merdu, bersahut-sahutan
Dan aku merasa sebagai berada dalam lautan
Kedamaian, tiba-tiba ‘ku memandang dengan jiwa,
Menari dalam api dunia terang benderang, Syiwa.
Dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak terperi
Berapa banyaknya, bersinar-sinar, berseri-seri,
Matahari, bulan dan bintang, semua mengikut bunyi
Gendang yang mahamerdu dan nyaring, yang tiada sunyi
Dari memenuhi seantero dunia, Alam yang muram
Melayang ke dalam hati teratai api dan suram
Diganti sinar caya yang terang benderang dan alam
Kembali beredar dalam dunia, menari dalam
Pesta cahaya dan suara.

Tiap alam berhati
Sendiri, emas yang bersinar-sinar, teratai api
Yang kembang, machluk yang indah permai, yang gilang-gemilang
Masuk ke dalam, keluar kembali sebagai bintang,
Terbang bernyanyi, antara alam yang silang bersilang.
Beradu kebagusan, banyaknya tiada terbilang.
“Pandang kebagusan dunia, o putera Duka Nestapa,”
Kedengaran satu suara yang halus-merdu berkata,
“Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri,
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari luar, apa yang kau pandang terjadi sekarang,
Tidak ada waktu dulu dan nanti, semua barang
Sudah ada, ada dan akan ada dalam sebentar
Itu jua. Supaya segala makhluk tahu benar,
Bahwa ia harus turut menari dalam pesta caya.
Agar berbahagia, ia harus dalam api bernyala
Membakar segala ikatan buta yang dikarangnya.
Dibikinnya sendiri. Api memusnakan kebatannya.
Dan jiwa merasa siksa, tetapi, lihat, ia terbang
Sebagai dewa, indah permai ke dalam cuara terang,
Tetapi belum ia merdeka, berkali-kali lagi.
Ia msuk untuk membersihkan diri ke dalam api,
Sehingga akhirnya ia sadar, bahwa Nataraja
Ia sendiri, bahwa dunia semata tidak ada
Di luar dirinya. Jalan ringkas, putra Nestapa.
Mencapai kemerdekaan ini, pandanglah dengan nyata.”

Seorang orang duduk termenung seorang diri,
Matanya muram, seperti dukacita dunia ini
Sekaliannya dirasanya. Pandangannya menyayat
Hatiku, membakar jiwaku, membuat ‘ku teringat
Akan sengsara kemanusiaan dan malapetaka.
Diri sendiri. O, ‘ku sudah pernah memandang mata
Yang demikian rupanya itu di alam jasmani,
Mata, yang menyuruh daku merdeheka atau mati,
Api bernyala-nyala datang mengelilingi dia,
Bertambah tinggi, bertambah besar, dan antero dunia
Tercengang, karena ia tinggal samadi, diam semata.
Akhirnya dalam kalbu hati dunia ia bertakhta.
Sekalian alam berhenti beredar memberi hormat.
Jiwanya makin lama makin lebar dan pada saat
Ia berdiri dari kalbu hati dunia, segala alam
Segala matahari, bulan dan bintang ada dalam
dirinya: Ia satu dengan Nataraja, Mahadewa,
Ialah dia: seseorang yang mencari sudah merdeka!

“O, putra Duka Nestapa, yang berjalan dari candi
Ke candi, dari negeri ke negeri, mencari
Kelupaan dan penglipur buat hatimu, yang dibelah
Oleh malapetaka dan keinginan, yang belum pernah
Bisa diobati,barang suatu, ketahuilah,
Bahwa Bah’gia berada dalam hatimu. Satuilah.
Tari segala alam, masukilah Api bernyala,
Sehingga engkau akhirnya jadi Syiwa-Nataraja.”


Demikianlah kumpulan puisi karya Sanusi Pane, baca juga puisi armijn pane dan contoh puisi pujangga baru yang lainnya dihalaman lain blog puisi dan kata bijak, semoga puisi puisi Karya Sanoesi Pane yang diterbitkan puisibijak.com bermanfaat.