Skip to main content

MENCINTAIMU DENGAN SEDERHANA

MENCINTAIMU DENGAN SEDERHANA
Alunan merdu suara Glenn Fredly membangkitkan ingatanku pada Laras. Laras, perempuan sempurna di mataku, tidak ada sedikit pun yang cacat di mataku. Hanya saja mata hatinya tak mampu melihat keseriusan cintaku padanya. Alasannya, ia takut disakiti lagi karena ia tak mampu jika harus kehilangan lagi. Aku baru saja mengenalnya, tapi hatiku sudah kepincut ingin memiliki cintanya. Paras wajahnya tak bisa lepas dariku.

“Tidak cantik tapi memikat hatiku,” batinku saat pertama kali aku melihatnya melintas dari hadapanku dengan senyumnya yang manis. “Maaf, saya mau lewat, Mas,” ucapannya seketika membuyarkan ketertarikanku padanya. “Oh iya maaf, saya menghalangi,” jawabku sembari memberinya jalan untuk lewat. “Ya Tuhan, mengapa jantungku berdegup seperti ini? Apa mungkin aku jatuh cinta pada dia yang belum aku kenal?” tanyaku pada hatiku.

Setelah pertemuan pertama itu, bayangannya selalu hiasi hariku, rasanya aku ingin selalu ada dekat dengan dia. Masalahnya hanya satu, sulit untuk bisa bertemu dengan dia.

“Kapan dia datang dan lewat dari sini lagi?”

Dan Tuhan menjawab doaku, dia akan lewat lagi dari tempatku berdiri saat ini. Senyumnya tidak pernah lepas dari bibir tipisnya dan lagi-lagi aku terpesona padanya.

“Hmmm maaf, kamu anak sebelah yah?” tanyaku saat dia berdiri persis di sampingku saat ia sedang menanti angkutan umum.

“Iya, memang kenapa?”

“Gak apa-apa. Kamu kayaknya anak baru yah di daerah ini?”

“Iya,” jawabnya singkat.

Aku bingung harus mengucapkan apa lagi, selain memikat hatiku, dia pelit ngomong ternyata.

“Oh iya, saya duluan yah. angkotnya udah datang,”

Glekkkk…. Aku cabut kata-kata pelit ngomongku menjadi

“Mau aku antar?” tapi hanya sampai pada batas di dalam hati karena dia sudah menaiki angkot.
Mencintaimu dengan sederhana

Mungkin ini yang dinamakan dengan jodoh menurut versiku. Tempatku bekerja tidak jauh dengan tempatnya dan itu artinya ada kesempatan yang luar biasa untuk selalu memandang wajah Laras. Siang ini, sebenarnya aku malas untuk ke luar kantor mengerjakan tugas lapanganku, tapi setelah melihat siapa yang ada di depan kantor seberang, aku kembali bersemangat. Tak mau menyia-nyiakan waktu, aku hampiri si bidadari hatiku dengan sedikit garing.

“Hei, kamu mau ke mana?” tanyaku

“Gak ke mana-mana, cuma mau ke sana aja makan siang. Udah ditunggu juga,”

Apa? Ditunggu? Semoga bukan kekasihnya yang menunggu.

“Siapa?” tanyaku sedikit tawar

“Temen,”

“Temen apa temen?” upssss kenapa juga kalimat ini harus terlontar.

Dia hanya mengerutkan keningnya dan berlalu dari hadapanku, dan aku hanya mampu berharap dia tidak mengangapku kurang ajar. Semangat untuk mengerjakan pekerjaanku pun hilang seketika dan entah apa lagi yang berkecambuk dalam pikiranku saat ini.

“Woiii… bengong aja, kesambet baru tau,” Hendra membuyarkan lamunanku

“Akhhh gak bisa lihat orang tenang dikit aja sih,”

“Ceilehhhh tenang dari mana, Mas?” timpal Adi

“Kamu lagi malah ikut-ikutan,”

“Kerjaan gimana?” plekkkk kalimat Hendra barusan menyadarkanku bahwa aku belum melaksanakan tugasku

“Maaf bos, belum,”

“Astaga… ingat yah bentar lagi deadline,”

“Hahahahahahaha… pasti karena cewek nih,” seolah mengerti isi pikiranku, Adi berhasil membuatku tak berkutik karena di kantor ini aku terkenal pemburu cinta dan lebih tepatnya aku mendapat julukan, sebulan PDKT, seminggu jadian dan putus.

“Sat, ingat kerjaan tetap kerjaan, gak mau dengar ada kaitannya lagi dengan cewek,” ultimatum yang tentu saja akan membuatku sekarat di kantor ini nantinya.

“Siap,” jawabku singkat

“Tapi ngomong-ngomong cewek mana yang akan jadi korbanmu,” tanya Hendra setelah Adi pergi. Ternyata Hendra menaruh rasa penasaran juga padaku.

“Ada deh, rahasia pokoknya,”

“Cantik?” burunya

“Lihat saja nanti kalau aku sudah bisa menaklukkannya,”

“Kayaknya ini luar biasa nih,”

“Lihat nanti saja, akan kuumumkan pada semua orang, dia perempuan terakhir di hidupku,”

“Yakin? Kok aku gak yakin?”

“Hen, aku ingin mencari yang serius dalam hidupku. Aku tidak ingin main-main lagi,”

“Kamu kesambet apa bisa bilang gitu,” Hendra benar-benar meragukan kesungguhan hatiku.

“Kali ini aku serius, Hen,”

“Oke, aku ingin lihat seorang Satria bisa serius pada cewek.”

Kata-kata Hendra barusan membuatku bertanya, apakah Laras akan sama dengan mantan-mantanku yang lain atau dia akan menjadi pᥱndamping hidupku? Tapi kali ini aku serius. Aku menginginkan cintanya.

Tiap hari, untuk bisa dekat dengannya, kutinggalkan motor bebekku di halaman rumah agar bisa mengenalnya. Segala cara aku lakukan untuk bisa menarik perhatiannya. Aku jatuh cinta padanya dan baru kali ini aku merasakan indahnya jatuh cinta.

“Kamu nunggu angkot yah?” tanyaku

Ia hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan saja, tapi tak apa karena senyumnya juga aku rindukan setiap saat.

“Ehhh itu angkotnya datang, yukkk,” ajakku dan lagi-lagi ia hanya bisa mengernyitkan keningnya karena tingkahku.

“Bukannya kamu biasanya naik motor?” tanyanya setelah kami hanya diam dan kebetulan hanya ada aku dan dia yang jadi penumpang hari ini.

“Kok tau, wahhh kamu merhatiin aku yah,” candaku

“Kan tetangga,” jawabnya

“Oh iya, lupa. Motorku lagi ngambek, jadinya ngangkot deh,” jawabku

“Oh gitu,”

“Oh iya, kita kan belum kenalan. Namaku Satria, nama kamu siapa?”

“Laras,” jawabnya

“Laras. Nama yang bagus,”

“Terima kasih,” jawabnya lagi.

Bisa kukatakan semua adalah awal yang indah. Setelah tak punya alasan mengapa setiap hari naik angkot ke kantor, aku mencoba menawarinya untuk mau berangkat denganku setiap hari ke kantor.

“Ras, yuk bareng aja,” ajakku saat melihat dia sedang menunggu angkot.

“Gak usah Sat, aku naik angkot aja,” tolaknya halus

“Gak apa-apa, yuk. Kan searah dan kantor kita juga dekat-dekatan,”

“Gak akh, gak enak Sat. Itu juga angkotnya dah datang,”

Dan aku harus menelan pil kekecewaan karena sulit menaklukkan hatinya.

“Ras, hatimu terbuat dari apa sih? Masa gak bisa melihat sinyal dariku?” tanyaku pada diriku sendiri. Hampir saja aku menyerah mengejar cinta Laras kalau saja hari itu aku tidak melihatnya sedang duduk sendiri di teras rumahnya.

“Hai Ras,” sapaku

“Hai,” jawabnya tanpa ekspresi sama sekali

“Kok bengong, entar kesambet lho,”

“Gak apa-apa,” jawabnya

“Ras, maaf nih, aku boleh masuk gak? Kan gak lucu ngomong kayak gini,”

Seolah menyadarinya, Laras membukakan pintu gerbang rumahnya dan menyilakan aku masuk. Dari bahasa tubuhnya, ada sesuatu yang membuatnya terlihat sendu, tak ada binar keceriaan dari sorot matanya. Mungkin ia membukakan pintu juga karena enggan untuk menjawab tidak boleh masuk.

“Boleh duduk?” tanyaku

Ia hanya mengangguk, tapi kali ini tanpa senyum.

“Maaf Ras, bukan bermaksud untuk ikut campur, kamu kok terlihat sendu seperti ini?”

“Masa sih? Gak akh, aku biasa aja,” ia berusaha menutupi kegalauan hatinya padaku

“Kelihatan lho, aku kan bisa melihatnya,”

“Kamu sok tau akh, “ ia kembali menutupi perasaannya walau saat itu aku bisa melihat wajahnya merona

Akhirnya kami berbincang-bincang dengan santai di teras rumahnya dan aku baru tau kalau dia bukan asli dari kota tempatku dilahirkan ini. Dia pendatang. Sebelum pulang tentu saja tak lupa aku meminta nomor HP-nya, siapa tau ada kelanjutan untuk bisa duduk berdua seperti ini dengannya.

“Laras, aku sayang kamu,” lagi-lagi aku hanya mampu mengatakannya pada diriku sendiri dan entah sampai kapan aku bisa menahannya.
Hari-hari berikutnya, aku dan Laras makin dekat. Ia juga sudah mau duduk di sadel motorku, dan membuatku membayangkan indahnya jika ia menjadi pᥱndamping hidupku kelak.
Setelah beberapa bulan dekat dengannya, sering jalan berdua, ia curhat padaku, aku memberanikan diri untuk mengatakan bahwa aku sayang dan cinta dia.

“Ras, aku sayang kamu,” kalimat yang aku rasa sudah tepat waktunya untuk aku ungkapkan

“Sat, kamu gak lagi mimpi kan?” tanyanya

“Ras, aku serius, aku juga gak lagi mimpi. Aku sayang kamu,”

“Masa sih?” ya ampun sulitnya untuk merobohkan benteng baja di hatinya

“Lihat aku Ras, apa kamu melihat ada kepura-puraan?” aku meraih tangannya ke dadaku agar ia juga
bisa merasakan ada cinta di setiap degup jantungku.

“Sat, kamu ngerti aku kan. Aku udah cerita semua sama kamu. Aku tidak ingin terluka lagi karena cinta,” ia melepaskan tangannya dariku

“Ras, aku mau jadi 0bat untuk hatimu. Aku siap meng0bati kekecewaan hatimu,” ujarku sungguh-sungguh

“Gak Sat, aku tidak ingin melukai hatiku lagi karena cinta,”

“Aku tidak akan melukai hatimu, Ras,”

“Tapi aku akan melukai hatimu dengan keadaanku,”

“Ras, aku yakin di balik kerasnya hatimu untuk menerima cinta, ada bagian yang bisa menerima cinta,”

“Gak Sat, aku sudah menutup hatiku untuk cinta, aku tidak ingin menghadirkan cinta lagi di hatiku,”

“Ras, jangan samakan semua pria. Dari 1000 pria pasti masih ada yang baik dan mungkin itu aku atau siapa saja, tapi aku berharap bahwa aku lah pria itu,”

“Sat, aku gak tau mau bilang apa sama kamu, tapi yang pasti aku tidak bisa,”

“Ras, buka sedikit hatimu untukku. Aku tulus padamu, aku ingin kita bisa selalu bersama,”

“Aku gak bisa, Sat,”

“Aku tidak akan memaksamu, tapi ketahuilah aku mencintaimu dengan tulus. Dan aku bisa mencintai dengan sederhana seperti impianmu selama ini, Ras.”


Laras tak menjawabku, ia hanya tertunduk dan ia menangis. Kuraih Laras ke dalam pelukanku. Ia berusaha meronta tapi cintaku padanya terlalu besar dan aku tak sanggup melepas pelukanku padanya.

“Ras, kamu kenapa? Maafkan aku jika aku salah mencintaimu,”

“Kamu tidak salah, tak ada yang salah dengan cintamu,”

“Lalu mengapa kau harus menangis?”

“Aku bingung dengan perasaanku,”

“Adakah sedikit cinta untukku di relung hatimu?”

“Aku tidak bisa menjawabnya. Aku takut, Sat,”

“Apa yang kamu takuti? Tidak kah lebih baik rasa takut itu kamu buang jauh-jauh?”

“Aku menutup hatiku untuk cinta, Sat,”

“Iya aku tau dan aku paham, tapi tak dapat kah aku meng0bati rasa kecewamu?”

“Sat, antarkan aku pulang. Aku ingin sendiri,”

“Tidak akan aku antar sampai kamu bilang, kamu mau membuang rasa takutmu,”

“Sat, aku mohon,”

“Oke, kita pulang.”

Sepanjang jalan, hanya kebisuan yang menemani kami. Hatiku tak tenang memikirkan Laras dan Laras juga hanya terdiam dan tak mengatakan apa-apa.

“Selamat malam, Sayang,” ucapku sesaat setelah ia membuka gerbang pintu rumahnya

“Satttt,”

“Iya aku tau,”

“Tau apa?”

“Tau artinya kalau kamu udah panggil seperti itu,”

“Kamu tuh,”

“Selamat malam bidadariku,”

“Sat, sudah akh,”

“Tidak akan pernah aku berhenti memanggilmu seperti itu karena aku sayang kamu. Gak usah dijawab, aku sudah tau jawabanmu,” ucapku dan segera meninggalkannya.

Esoknya, aku tersentak karena tidak menemukannya di depan rumahnya. Segera kupacu motorku ke tempat biasa ia menunggu angkot, dan ia tidak ada di sana.

Ras, kamu di mana, sayang? Aku mencoba SMS dan tak ada balasan, kucoba menelepon dan lagi-lagi tidak diangkat.

Jika pengakuanku membuatmu marah, marah lah. Tapi kamu harus tau aku mencintaimu apa adanya, aku siap mencintaimu dengan sederhana seperti yang kamu mau

Aku berusaha mencarinya ke kantor tempatnya bekerja dan jawaban yang kuterima hari ini ia tidak ada di kantor. Ia ada tugas di luar kota.

“Tuhan, mengapa seperti ini? Salah kah cintaku padanya?” batinku.

Seminggu kulewati tanpa Laras, teman-temannya bilang, ia belum pulang dari luar kota. SMS yang aku kirimkan tidak berbalas juga. Telepon tidak diangkat. Duniaku berubah seketika.
“Sat, kamu kenapa?” tanya Hendra yang selalu melihatku uring-uringan

“Laras,”

“Ada apa dengan Laras? Kalian putus?”

“Putus bagaimana kalau pacaran saja belum,”

“Kirain udah pacaran,”

“Dia sulit ditaklukkan,”

“Sudah lah, masih banyak cewek lain,”

“Cewek lain emang banyak, tapi cintaku hanya untuk Laras,”

“Kalau begitu, kejar cintamu,”

“Hen, kamu percaya aku cinta Laras?”

“Iya, kali ini aku percaya kamu cinta sama Laras dan tidak main-main,”

“Lalu aku harus berbuat apa?”

“Yakinkan dia,”

“Dia sulit menerima cinta, Hen. Lukanya di masa lalu yang membuatnya seperti ini,”

“Itu tugasmu sekarang. Kalau kamu benar-benar cinta dia, kejar dia. Good luck bro!”

Sesaat setelah Hendra pergi meninggalkanku sendiri, aku membuka e-mailku, dan mataku langsung tertuju pada e-mail dari Laras

“Maafkan aku yang mencintaimu dan maafkan aku yang tidak bisa memberi cinta ini walau aku mencintaimu. Aku takut terluka, aku tidak ingin terluka lagi, Sat. Aku bisa melihat ketulusanmu tapi mungkin takdir berkata lain. Cinta kita mungkin tercipta atas dasar ketulusan dan tak bisa bersatu. Tapi yakin lah bahwa aku pun memiliki rasa yang sama denganmu, hanya saja aku tak mampu untuk memberikannya dan aku tak mampu untuk menerima cintamu. Cari lah perempuan yang bisa mencintaimu, Sat. Aku yakin, akan ada sosok yang mencintaimu dan mau memberikan cintanya padamu. Hariku indah karenamu, hariku berwarna karnamu. Tawa, canda, bahkan tangis, kulewati bersamamu. Maafkan aku yang mencintaimu dengan cara seperti ini.

Salam sayang dariku selalu untukmu

Laras

Entah rasa apa yang ada di hatiku. Satu sisi aku senang, ia mencintaiku, satu sisi aku terpukul karena di balik cintanya, masih ada benteng yang memisahkan cintaku dan cintanya.

Aku akan tetap menunggumu, Ras. Aku siap kapan saja hatimu mau menerima cintaku. Aku tidak akan mampu dan tak akan berpaling dari cinta ini. Jika memang, kau tercipta untukku, aku akan menanti, jika kau tidak tercipta untukku, aku pun akan tetap menanti cintamu karena ku tau cintaku tulus dan cintaku tanpa syarat padamu. Biarkan aku menunggumu, bidadariku.

Kutunggu balasan darinya, tapi sia-sia, ia tak juga membalas e-mailku. Setiap hari aku menunggu dan setiap hari pula aku harus menelan kekecewaan. Dia juga pindah dari kota ini. Aku tidak tau dia ada di mana, tapi aku yakin dia tetap membawa cintaku ke mana pun dia pergi.

Sejauh apa pun kau pergi, cintaku akan selalu abadi untukmu. Jangan pernah berpikir bahwa aku akan berpaling pada cinta yang lain. Cintaku tulus dan cintaku abadi bahkan cintaku sederhana karena aku ingin mencintaimu dengan sederhana seperti mimpimu selama ini. Aku tetap menantimu, Sayang.

***

Sumber komposiana cerpen:Elvy Sylvia Julyanti Nasution